HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM (PERSPEKTIF MUHAMMAD QUTHB)

Oleh: Saifullah, S. Ag., M. Ag

Abstrak
Tulisan ini membahas tentang hakikat dan tujuan pendidikan Islam dalam pandangan Muhammad quthb, seorang pemikir Islam kontemporer, yang menjelaskan konsep-konsep yang brillian tentang pendidikan. Bagi Muhammad Quthb, Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, tidak dipisahkan oleh satu aspek pun dari kudrat manusia. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk kejujuran dan pengabdian manusia hanya kepada Allah semata, yaitu untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki sebagai keseimbangan antara intelektual dan kesadaran; fisik dan spiritual; moral dan aktivitas; pribadi dan hubungan masyarakat dan alam. Dengan Demikan, Pendidikan Islam berpusat pada manusia seutuhnya tanpa dipisahkan oleh batas-batas wilayah, ras, lokasi dan lain-lain.

Kata Kunci: Hakikat, Tujuan, pendidikan Islam, dan Muhammad Quthb


A. Pendahuluan

Secara ideal, pendidikan Islam berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh. Hal ini dapat dilakukan melalui latihan-latihan kejiwaan, akal, pikiran, kecerdasan, perasaan ataupun panca indera. Oleh karena itu, Para Pendidik Islam berusaha mengembangkan, melatih dan membimbing semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spiritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan dan lain-lain, baik secara individu ataupun kelompok serta senantiasa memberikan dorongan bagi kedinamisan aspek-aspek di atas menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya (Ali Ashraf, 1996: 2).

Berbicara tentang pemikiran Pendidikan Islam dewasa ini, tidak bisa terlepas dari kontribusi pemikiran yang dikedepankan oleh seorang Pakar/Pemikir Muslim yang kini menjadi guru besar di King Abdul ‘Aziz University, Arab Saudi, beliau adalah Muhammad Quthb. Muhammad Quthb merupakan salah seorang Pemikir muslim atau intelektual Muslim tingkat dunia yang cukup kesohor saat ini. Selain dikenal sebagai pakar Teologi, pakar Pemikir Islam, beliau juga dikenal sebagai pemikir Pendidikan Islam. Muhammad Quthb adalah adik kandung Sayyed Quthb, keduanya merupakan tokoh ikhwanul Muslimin di Mesir (Zainab al-Ghazaly, 1993: 144). Ia bersama dengan barisan intelektual lainnya seperti almarhum Muhammad al-Mubarak, Dr. Sayid Hossein Nasr, Dr. Abdullah Zaid, Dr. Sayid Naquib al-Attas, Syeikh Amad Lemu, Dr.Ghulam Nabi Saqib, Dr. Muhammad Saad al-Rasheed, Ismail Raji al-Faruqi dan lain-lain cukup cemas menyaksikan realitas pendidikan Islam yang berjalan selama ini (Ali Ashraf, 1989: xii).

Berdasarkan dari beberapa pokok pikiran di atas, maka penulis sangat tertarik dan berminat untuk mengadakan studi secara mendalam (meneliti) Pemikiran Pendidikan Islam dengan Muhammad Quthb sebagai objek kajian utama. Kemudian timbul pertanyaan, mengapa pemikiran Muhammad Quthb yang menjadi objek utama. Hal ini bukan berarti studi atas pemikiran tokoh-tokoh lain tidak penting, akan tetapi sejauh pengamatan (sementara) penulis, pemikiran Muhammad Quthb mempunyai corak dan karakteristik yang distingtif dan partikular untuk dikaji pada saat ini, khususnya dalam rangka menghadapi abad ke-21, yang sedang kita jalani.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian yang ingin dikaji peneliti adalah Bagaimana Hakikat dan Tujuan Pendidikan menurut Muhammad Quthb, untuk mengetahui pemikiran beliau, maka yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah: Riwayat hidup dan pendidikan Muhammad Quthb; Bagaimana hakikat dan tujuan pendidikan Muhammad Quthb; dan Implikasi pemikirannya dalam dunia pendidikan dewasa ini.


B. Riwayat Hidup dan Karya-Karya Muhammad Quthb

Muhammad Quthb lahir pada tahun 1919, (Muhammad Anis Matta, 1996: xiv) di kota Assyout, Mesir dari keluarga yang amat shaleh dan taat beribadah. Ayahnya bernama Al-Haj Quthb Ibnu Ibrahim, seorang petani terhormat yang relatif kaya dan komisaris Partai Nasional di Assyout. Muhammad Quthb mempunyai empat orang saudara yaitu: Sayyid Quthb adalah anak sulung, kemudian Muhammad Quthb, Aminah Quthb, dan si bungsu Hamidah Quthb (Zainab Al-Ghazaly, 1993: 144). Sayyid Quthb yang lahir 13 tahun sebelum Muhammad Quthb, atau tepatnya pada tahun 1906, didaulat sebagai founder pemikir Islam modern oleh Dunia Islam maupun Barat, terutama berkat karya monumental beliau Fii Zhilalil Qur’an (Di Bawah Naungan Qur’an).

Salah satu unsur penting yang umum dijadikan dasar pertimbangan dalam menilai bobot keilmuan seseorang, terutama masa-masa terakhir ini, ialah berapa banyak dan sejauhmana kualitas karya ilmiah yang telah dihasilkannya. Dilihat dari perspektif ini, agaknya Muhammad Quthb tergolong sebagai seorang penulis yang produktif, di samping seorang pemikir.

Berikut ini, penulis tampilkan sebagian dari karya-karya ilmiah Muhammad Quthb, khususnya yang berkenaan dengan pembahasan ini, di antaranya: 1)Dirasatu Fie al-Nafsi al-Bashariyah, Dar Al-Shuruq, Mesir; 2)Al-Insan Baina al-Maddiyah wa al-Islam, Dar Al-Shuruq, Mesir; 3)Ma’rakah al-Taqalid, Dar al-Shuruq Mesir, (1404 H/1984 M); 4)Fie al-Nafsi wa al-Mujtama’, Dar al-Shuruq, Beirut, (1393 H); 5)Hal Nahnu Muslimun, Dar al-Shuruq, Mesir; 6)Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, Dua Jilid, Dar al-Shuruq, Mesir, (1414 H/1993); 7)Qubusat Min al-Rasul, Dar al-Shuruq, Mesir; 8)The Role of Religion in Education, Makalah pada Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam, Mekkah, 1977; dan 9)Jahiliyah al-Qarni al-I’syrina, Dar Al-Shuruq, Beirut, (1403 H/1983 M). Disamping itu, perlu juga dikemukakan bahwa karya-karya ilmiah Muhammad Quthb yang tersebut di atas, telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Urdu, Persia, dan Indonesia.


C. Hakikat Pendidikan

Bagi Muhammad Quthb, Pendidikan, Pendidikan Islam, pada hakikatnya adalah Pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya, serta segala aktivitasnya; baik berupa aktivitas pribadi maupun hubungannya dengan masyarakat dan lingkungannya, yang didasarkan pada nilai-nilai moral Islam (Muhammad Quthb, 1993: 18). Dengan demikian, Pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu (anak didik) berdasarkan nilai-nilai moral Islam.

Sedangkan proses pembentukan anak didik (subyek didik), menurut Muhammad Quthb, berlangsung di tiga tempat: rumah, sekolah dan masyarakat. Sebagaimana pernyataannya:
Orangtua, tentu saja, merupakan panutan, seorang ibu, demikian pula seorang ayah, tidak boleh berdusta dihadapan seorang anak, sehingga si anak tidak akan menyaksikan suatu kebohongan dihadapan matanya. Dari sini ia akan membiasakan kejujuran karena kenyataan yang ada didalam keluarga. Kemudian ia pergi ke sekolah, maka baik bapak maupun ibu guru janganlah mendustainya. Ia keluar melihat masyarakat, maka ia akan menemukan kejujuran sebagai suatu realitas. Dengan sendirinya, ia akan tumbuh sebagai orang jujur dan tidak mau berdusta (Muhammad Quthb, 1995: 315-316).

Hampir senada dengan Muhammad Quthb, Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa: Hakikat Pendidikan Islam adalah Pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan damai dan perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya (Yusuf al-Qardhawy, 1980: 39). Seyyed Hossein Nasr (1987: 125), memandang Pendidikan harus memperdulikan seluruh wujud manusia, laki-laki dan perempuan yang diupayakan untuk dididik, bukan hanya pikirannya saja melainkan seluruh wujud sang pribadi/orang tersebut. Oleh karena itu implikasi dari pendidikan Islam bukan sekedar pengajaran atau penyampaian pengetahuan, tetapi juga pelatihan seluruh diri anak didik.

Sedangkan Abdurrahman al-Bani (1989: 32) menyimpulkan bahwa pendidikan terdiri dari empat unsur, yaitu: Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh); kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan yang layak baginya; dan keempat, dilaksanakan secara bertahap. Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam.

Dari penjelasan para pakar diatas, nampaknya Muhammad Quthb, al-Qardhawi, dan Nasr, disamping memperhatikan tentang pengembangan manusia seutuhnya serta potensi yang dimilikinya, juga menekankan pada aspek moral. Sedangkan Al-Bani lebih menekankan pada pengembangan potensi dan fitrah yang dimiliki anak.

Dari beberapa pengertian tentang Pendidikan yang telah disebutkan diatas, jelas memperlihatkan perbedaan antara pendidikan umum seperti Dewey (1964:2); “social continuity of life”, Durkheim (1990: xii); “sarana sosial” dengan pendidikan Islam. Perbedaannya dapat dilihat jika kita kembali kepada salah satu pengertian pendidikan umum, yaitu bahwa ia adalah proses pemindahan nilai-nilai warisan budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut adalah menyangkut tentang nilai-nilai yang dipindahkan. Dalam pendidikan Islam nilai-nilai yang dipindahkan itu berasal dari sumber-sumber nilai Islam; Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad para ulama (kaum intelektual) (Azyumardi Azra, 1999: 56). Untuk mencapai nilai-nilai tersebut, menurut Muhammad Quthb, harus mengadakan kontak yang terus menerus dengan Allah SWT. Karena hubungan yang terus menerus dengan Allah SWT pada hakikatnya merupakan Manhaj (sistem) pendidikan yang paling lengkap (Muhammad Quthb, 1992: 34).


D. Tujuan Pendidikan

Manusia merupakan tokoh sentral di dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, pengetahuan kita tentang asal kejadian manusia ini amat penting artinya dalam merumuskan tujuan pendidikan bagi manusia. Pertama, hakikat wujud manusia adalah bahwa manusia itu makhluk (ciptaan) Tuhan. Dalam al-Qur’an disebutkan: “Dia (Allah) yang menciptakan manusia” (Q.S. Al-Rahman:3). Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang hakikat manusia.

Kedua, manusia adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, seperti dalam teori pendidikan lama yang dikembangkan di dunia Barat, yaitu: Nativisme, aliran yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan. Aliran ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1768-1860). Sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme). Aliran ini dipelopori oleh John Locke (1632-1704). Sedangkan teori selanjutnya adalah konvergensi. Menurut teori ini bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan. Aliran ini dipelopori oleh William Stern (1871-1938) (Mastuhu, 1999: 25-27).

Hakikat wujud manusia yang ketiga, adalah bahwa dalam perkembangannya, manusia itu cenderung beragama. Secara garis besar manusia mempunyai dua kecenderungan, yaitu: kecenderungan menjadi orang baik dan kecenderungan menjadi orang jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam kecenderungan menjadi baik.

Muhammad Quthb (1979: 51), dalam hal ini, dengan tegas menyatakan bahwa hormat dan beribadah kepada Tuhan merupakan sifat wajar manusia. Al-‘Aynayni (1980: 103) menyatakan bahwa, menurut al-Qur’an, manusia pada hakikatnya adalah mempercayai adanya Tuhan yang satu, tetapi manusia berkemampuan pula menjadi syirik dan jahat; beribadah kepada Tuhan adalah tujuan wujud manusia.

Hakikat wujud manusia yang keempat, bahwa manusia itu adalah makhluk utuh yang terdiri dari jasmani, rohani dan akal. Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia itu mempunyai aspek jasmani: “Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu dan kamu tidak boleh melupakan urusan duniawi”. (Q.S. al-Qashash:77) Maksudnya adalah hal-hal yang diperlukan oleh jasmani, seperti makanan untuk dimakan dengan syarat dalam makanan itu halal dan suci. “Hai orang-orang yang beriman, makanlah olehmu apa saja yang ada di bumi secara halal dan suci”. (Q.S. Al-Baqarah:168)

Manusia mempunyai aspek rohani, ini dapat dilihat dalam firman Allah: “Maka bila aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepadanya. (Q.S. Al-Hijr:29) Dan aspek akal, ini juga sudah jelas, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an : “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya disisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun”. (Q.S. al-anfal:22)

Dengan akal manusia memperoleh pengetahuan. Disamping itu akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Akal dalam Islam adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Daya berfikir tersebut yang disebut akal dikembangkan baik oleh ulama dalam bidang agama, seperti teologi, falsafah dan hukum, maupun oleh ulama dalam bidang pengetahuan duniawi yang secara tidak langsung mempunyai peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan yang pesat dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern sekarang. Dengan kata lain, berfikir dalam Islam adalah ibadah. Karena dengan berfikir tersebut dapat mengembangkan ilmu yang berguna bagi manusia.

Berdasarkan aspek pokok manusia di atas, yaitu: jasmani, rohani dan akal. Muhammad Quthb (1993: 24) menyatakan bahwa manusia terdiri atas tiga unsur yang integral, yaitu: jasmani, rohani, dan akal. Selanjutnya ia menyatakan bahwa roh, akal dan tubuh ketiga-tiganya membentuk satu wujud yang utuh yang disebut manusia, semuanya berinteraksi secara utuh dari kenyataan.

Berangkat dari konsep atau hakikat manusia menurut pandangan Islam tersebut, tujuan pendidikan dirumuskan. Muhammad Quthb, ketika berbicara tentang tujuan pendidikan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan lebih penting dari pada sarana pendidikan. Sarana pendidikan pasti berubah dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, bahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Akan tetapi, tujuan pendidikan (ultimate aim) tidak berubah, sedangkan tujuan pendidikan yang khusus dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu. Namun bagian yang mendasar dalam tujuan pendidikan yang khusus tidak pernah berubah. Seperti memperkenalkan akidah Islam, dasar-dasarnya, asal-usul dan lain sebagainya.

Muhammad Quthb (1993: 13-14), dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, hanya berbicara tentang tujuan akhir (umum), yakni untuk membentuk manusia yang baik/yang bertaqwa dan beribadah kepada Allah SWT (shaleh). Rumusan tujuan Pendidikan Islam menurutnya, diambil dari ajaran Islam, sebagaimana firman Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (Q.S. al-Dzariyat:56) Dalam ayat yang lain Allah berfirman: “Sungguh yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling taqwa”. (Q.S. al-Hujarat:13)

Tetapi ibadah dalam ayat diatas, menurut Muhammad Quthb, tidak terbatas hanya pada tata cara peribadatan yang telah ditentukan, melainkan mempunyai makna yang lebih menyeluruh dan luas sekali, meliputi seluruh aktivitas dan bidang kehidupan dan mencakup seluruh perbuatan, karsa, dan rasa manusia.

Senada dengan pernyataan Muhammad Quthb, Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (1984: 54), merumuskan tujuan akhir pendidikan Islam secara singkat dan padat, yaitu untuk menghasilkan manusia yang baik. Al-Abrasyi (1974: 15) menghendaki tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang berakhlak mulia. Demikian juga halnya dengan Munir Mursyi (1977: 18) menyatakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia sempurna.

Jadi untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, tentunya dibutuhkan pendidikan yang baik, yakni pendidikan manusia seutuhnya yang tidak saja memperhatikan aspek rohani tetapi juga jasmani dan akal, tidak hanya theosentris tetapi juga antroposentris dan scientific. Dengan kata lain adalah pendidikan yang meletakkan landasan keseimbangan dan keserasian dari seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan memandang bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu Agama dengan ilmu Umum.



E. Ke Arah Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam

a. Paradigma Baru Ilmu Pendidikan Islam

Munawir Sadzali, sebagaimana dikutip oleh A. Malik Fadjar (1999: 27-30), mengatakan bahwa dikalangan kaum muslimin ada empat pendapat yang sering menimbulkan kontroversi, yaitu: Pertama, Islam sebagai agama terakhir dan penyempurna – dari agama-agama wahyu sebelumnya – adalah agama yang ajarannya mencakup segala aspek kehidupan umat manusia. Menurut kalangan ini, bahwa Islam mengatur permasalahan-permasalahan kecil; seperti bagaimana adab dan tata cara masuk kamar kecil, pendek kata Islam mengatur segala persoalan hidup dan kehidupan, termasuk didalamnya masalah pendidikan. Kelompok ini biasanya dijuluki dengan kelompok “universalis” bersikap lebih radikal dan dalam memahami Islam, umumnya lebih skripturalis.

Karena itu, menurut kelompok ini pendidikan Islam harus merujuk pada pendidikan sebagaimana yang secara sosiologis dicontohkan oleh Rasulullah dan generasi sahabatnya. Pendidikan adalah pendidikan yang mengajarkan agama Islam, laki-laki dan perempuan dipisahkan dan berpakaian khas.

Kedua, berpendapat bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Sedangkan urusan-urusan keduniaan, termasuk pendidikan, manusia diberikan hak otonomi untuk mengaturnya berdasarkan kemampuan akal budi yang diberikan kepada manusia. Kelompok ini berpendapat, pendidikan Islam itu tidak ada, melainkan yang ada adalah pendidikan Islami.

Pendidikan menurut kelompok ini secara epistemologi berada dalam kawasan yang bebas nilai, tidak mempunyai konteks dengan Islam. Islam hanya menempati kawasan aksiologis, nilai-nilai etis dalam pemanfaatan dan berada diluar struktur ilmu pendidikan. Karena itu, yang disebut pendidikan Islam adalah pendidikan yang secara fungsional mampu mengemban misi Islam, baik yang dikelola oleh kaum muslimin maupun yang bukan.

Ketiga, Islam bukanlah sebuah sistem kehidupan yang praksis dan baku, melainkan sebuah sistem nilai dan norma (perintah dan larangan) yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan setting sosial dan dimensi ruang dan waktu tertentu. Karena itu, secara praksis, dalam Islam tidak terdapat sistem ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya secara tersurat dan baku. Akan tetapi, manusia – dalam hal ini umat Islam yang telah diberi amanah sebagai khalifah dimuka bumi – diperintahkan untuk membangun sebuah sistem kehidupan praksis dalam segala aspeknya dalam rangka mengamalkan nilai dan norma Islam dalam kehidupan nyata. Jadi, dalam Islam hanya terdapat pilar-pilar penyangga tegaknya sistem pendidikan Islam, seperti tauhid sebagai dasar pendidikan, konsep manusia yang melahirkan yang memberi arah tentang tujuan pendidikan, serta konsep tentang ilmu yang merupakan isi dari proses pendidikan. Karena itu, tegaknya sistem pendidikan merupakan kawasan ijtihadi, dan dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam tadi.

Dengan kata lain, Islam (Pendidikan dalam hal ini), hanya menyediakan bahan baku, sedangkan untuk menjadi sebuah sistem yang operasional, manusia diberikan kebebasan untuk membangun dan menerjemahkan. Karenanya, tidak ada pendidikan Islam yang baku, melainkan manusia dirangsang untuk menciptakan sistem pendidikan yang paling ideal.

Kelompok ini biasanya dipelopori oleh kalangan cendekiawan yang secara intelektual mampu menangkap “ide moral” atau “hikmah” diturunkannya Islam. Islam adalah pedoman hidup universal (sesuai dengan fitrah manusia), eternal (abadi), dan kosmopolit (lengkap dan mendorong untuk berperadaban).

Dan keempat, Islam itu adalah petunjuk hidup yang menghidupkan. Islam tidak memberikan petunjuk terhadap semua aspek kehidupan manusia yang bersifat baku dan operasional. Karena hal ini akan mematikan kreativitas dan memasang kebebasan manusia. Yang diberikan petunjuk secara rinci dan operasional oleh Islam hanyalah hal-hal tertentu yang dianggap khusus, krusial, dan memang tidak memerlukan kreativitas pemikiran manusia. Seperti masalah ibadah Mahdhah dan beberapa hal yang berhubungan dengan keluarga, masalah perkawinan dan waris.

Sedangkan masalah-masalah yang menyangkut hajat orang banyak, Islam hanya memberikan petunjuk umum, baik berupa nilai etik, postulat atau aksioma maupun hipotesis sejarah. Karena itu, seperti masalah ekonomi, politik dan pendidikan. Islam hanya memberikan petunjuk sebagai asas, tujuan dan nilai-nilai etis berkenaan dengan operasionalisasi bidang-bidang tersebut.

Keempat pendapat tersebut, sebenarnya tidak ada yang paling benar, sehingga yang satu menyalahkan yang lain. Karena persoalan pemahaman sebenarnya bersifat “relatif” kebenarannya. Sedangkan kebenaran absolut hanyalah Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan persoalan hidup dan kehidupan ini, pendapat ketiga dan keempat lebih mendekati kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, antara lain memudahkan dan mendorong kepada kemajuan.

Menurut Muhammad Quthb, Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, dengan referensi pada nilai-nilai Islam, “ide moral”, “hikmah” atau “ibrah” (Muhammad Quthb, 1996:11). Jadi, bisa sangat luas, mencakup segala aktivitas manusia yang bersangkutan dengan budaya dan peradaban, tetapi bisa juga sangat sempit yang hanya mencakup satu disiplin ilmu yang disebut Ilmu Pendidikan Islam, salah satu cabang pengetahuan yang termasuk bidang kemanusiaan.

Berkaitan dengan keempat paradigma diatas, Muhammad Quthb, lebih condong kepada pendapat yang ketiga dan keempat. Karena itu, Pendidikan Islam harus ditafsir sesuai dengan setting sosial dan dimensi ruang dan waktu tertentu dengan berpedoman kepada nilai-nilai Islam (Al-Qur’an dan Hadist). Jadi, tegaknya sistem pendidikan merupakan kawasan -- dengan memakai istilah Muhammad Quthb – ijtihad basyari yang mungkin salah dan mungkin benar. Sekalipun begitu, orientasi penafsiran dan pemahaman ini memiliki tingkat akurasi dan kedekatan kebenaran yang jauh lebih baik kebenarannya daripada penafsiran dan pemahaman yang hanya bersandar pada hawa nafsu.

Dari penjelasan tersebut, nampaknya makna pendidikan itu sedemikian luas, sehingga - menurut Noeng Muhadjir - perlu kiranya ada klarifikasi konsep pendidikan Islami dan ilmu pendidikan Islam. Membangun paradigma Pendidikan Islam adalah membangun sistem ilmu pengetahuan yang Islami, yang dipakai untuk menyajikan pengetahuan, ilmu dan teknologi. Sejak Pendidikan Dasar sampai Perguruan Tinggi. Sedangkan ilmu pendidikan Islam yang Islami adalah disiplin ilmu pendidikan yang diorientasikan pada nilai-nilai moral Islam. Ilmu Pendidikan Islami sebagai tawaran alternatif yang unggul kompetitif terhadap disiplin ilmu pendidikan yang menggunakan landasan moral lain (Noeng Muhadjir, 1996: 30-31).

Karena itu, ilmu Pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu yang membahas masalah-masalah Pendidikan – Tentunya berdasarkan pada kawasan ijtihad basyari – yang berdasarkan pada Islam (Al-Qur’an, hadist maupun pemikiran). Ilmu pendidikan Islam, bermanfaat untuk memperoleh gambaran tentang pola pikir dan berbuat dalam proses pelaksanaan pendidikan Islam. Ia merupakan kerangka berfikir teoritis sistematis yang mengandung konsep-konsep ilmiah tentang kependidikan Islam, disamping konsep-konsep aplikatif operasionalnya dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah pendidikan Islam itu dapat disebut sebagai suatu disiplin ilmu yang benar-benar mandiri, memenuhi syarat-syarat ilmiah dan keilmuan.

Persyaratan yang hurus dipenuhi oleh pendidikan Islam jika ingin menampilkan diri sebagai suatu disiplin ilmu, setidak-tidak harus memenuhi tiga syarat, yaitu: memiliki obyek studi yang eksplisit dari disiplin lain, memiliki struktur atau sistematika yang juga eksplisit dari disiplin lain, dan memiliki metodologi penyeimbangan. Karena, sifat ilmu pendidikan menekankan pada penerapan empirik, ilmu pendidikan sebagaimana ilmu-ilmu empirik lainnya, menuntut adanya syarat keempat, yaitu: evidensi empirik.

Dengan kata lain, ilmu Pendidikan Islam dalam teori-teorinya mengandung konforminas (kesesuaian) pandangan dengan teori-teori dalam ilmu Pedagogik terutama yang menyangkut anak didik, pendidik, alat-alat dan lingkungan sekitar serta cita-cita. Sehingga jelas nampak bahwa dalam teori kependidikan Islam terkandung nilai-nilai ilmiah Pedagogis yang absah dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia ilmu pendidikan (H.M. Arifin, 1996: 14).

Perlu mendapat perhatian yang serius - khususnya orang yang peduli terhadap pendidikan Islam - bahwa kehadiran ilmu Pendidikan Islam masih dalam proses pengembangan, baik melalui pendekatan empirik-kualitatif maupun melalui pendekatan kualitatif-normatif. Selain memiliki dasar orientasi norma dan tujuan, ilmu Pendidikan Islam memiliki komponen sistem yang sama rumitnya dengan komponen sistem pendidikan pada umumnya, Pendidikan Islam memiliki nilai-nilai yang proses transformasi kulturnya bersifat kesemestaan (universality). Oleh karena itu, pengembangan hukum umum dan paradigma harus dapat diuji, baik secara empirik maupun secara kualitatif (Jusuf Amir Faisal,1995:100-101).

Muhammad Quthb (1996:10), dalam hal ini, menjelaskan bahwa paradigma ilmu, termasuk ilmu pendidikan Islam, adalah suatu kerangka teoritis berupa konsep, teknis, proses dan prosedur yang dibangun oleh para Mujtahid pendidikan Islam. Berdasarkan nilai-nilai Islam (al-Qur’an dan Hadist Nabi) dengan memakai “lensa” ijtihad basyari (observasi). Karena itu, tegaknya sistem pendidikan merupakan kawasan ijtihad, yang memerlukan revisi dan perbaikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan observasi yang lebih benar adalah observasi yang dipandu oleh wahyu.

Lebih lanjut Muhammad Quthb menjelaskan, bahwa menafsirkan realitas dunia (termasuk bidang Pendidikan) dengan referensi al-Qur’an dan Hadist Nabi adalah ijtihad basyari yang mungkin salah dan mungkin benar seperti halnya ijtihad seorang faqih dalam mengistimbath hukum Islam dari al-Qur’an dan Hadist Nabi. Sekalipun begitu, orientasi penafsiran dan pemahaman ini memiliki tingkat akurasi dan kedekatan kebenaran yang jauh lebih baik kebenarannya daripada penafsiran/ pemahaman yang hanya bersandar pada hawa nafsu.

Dalam kaitannya dengan Pendidikan, Islam hanya menyediakan bahan baku (al-Qur’an dan Hadist Nabi), sedangkan untuk menjadi sebuah sistem yang operasional, manusia diberi kebebasan untuk memformulasi, membangun dan menerjemahkannya. Karena itu tidak ada pendidikan Islam yang baku, melainkan manusia dirangsang untuk menciptakan sistem pendidikan yang ideal, dan dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam (al-Qur’an dan Hadist Nabi), karena itu yakin bahwa keduanya merupakan sumber kebijakan tertinggi bagi manusia.


b. Pendekatan Multidisipliner dalam Ilmu Pendidikan Islam

Menurut Imam Barnadib (1996: 8), ada dua pendekatan yang dapat dikemukakan dalam hubungan ini, yaitu: Pendekatan tertutup dan pendekatan terbuka. Pendekatan Pertama, adalah apabila pendidikan dengan segala masalahnya dipandang hal ikhwal rumah tangga sendiri. Sedangkan pendekatan kedua adalah pendidikan dengan segala masalahnya sebagai hal ikhwal yang tidak semata merupakan urusan rumah tangga sendiri, melainkan dipandang sebagai hal-hal yang kontektual terhadap bidang-bidang atau lingkungan yang relevan.

Mengingat Pendidikan Islam sebagai ilmu empirik yang memerlukan rekonstruksi dan reformulasi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Maka dalam hal ini, lebih tepat didekati dengan menggunakan pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan terbuka. Oleh karena itu, pendidikan Islam menjadi ilmu yang benar-benar komprehensif.

Salah satu jenis pengembangan ilmu dengan pendekatan terbuka adalah pendekatan multidisipliner, yaitu mengembangkan suatu disiplin ilmu (ilmu Pendidikan Islam) dengan memanfaatkan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, psikologi, hukum, filsafat, ekonomi, sejarah, ilmu kalam dan lain sebagainya.

Dengan diperkenalkan pendekatan ini, orang dari berbagai keahlian bekerja sama mengadakan penelitian, atau eksperimentasi yang hasilnya dapat diintegrasikan sebagai hasil suatu proyek besar. Bersatunya berbagai ahli tersebut dengan sendirinya akan lebih mengembangkan kesatuan fungsional unit-unit disiplin ilmu.

Dengan demikian, para ahli ilmu pengetahuan dan ilmu keislaman mempunyai cara, tehnik, dan peralatannya masing-masing dalam mengamati perilaku atau aktivitas manusia yang berkenaan dengan pendidikan. Ilmu sosiologi misalnya menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku tersebut, sejarah menyoroti tentang proses terjadinya perilaku tersebut, dan antropologi mengamati tentang terbentuknya pola-pola perilaku tersebut dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia. Tetapi aktivitas manusia dalam pendidikan merupakan sasaran yang sangat perlu didekati terlebih dahulu.

Noeng Muhadjir (1999: 204) membedakan pendekatan multidisipliner dengan pendekatan interdisipliner. Titik tolak pendekatan yang pertama adalah pada disiplin tertentu, dalam hal ini pendidikan Islam. Hasil studi disiplin lain dimanfaatkan oleh disiplin tertentu tersebut. Dengan demikian, produk studi pendekatan multidisipliner adalah produk suatu disiplin ilmu tertentu. Sedangkan pendekatan interdisipliner merupakan usaha studi bersama dari berbagai disiplin ilmu, sehingga produknyapun merupakan produk interdisiplin. Misalnya, produk kerja seorang dokter atau produk kerja seorang guru agama Islam adalah merupakan produk multidisipliner.

Selanjutnya Noeng Muhadjir menjelaskan, bahwa hasil studi suatu disiplin ilmu dapat dimanfaatkan bila memenuhi empat kriteria berikut ini, yaitu: validitas, relevansi, integritas dan operasionalisasi. Bila tidak memenuhi kriteria tersebut, maka harus ditinggalkan.

Muhammad Quthb sebagai seorang pemikir Muslim modern dalam mengkonstruk pemikirannya tentang pendidikan Islam tentu saja sangat banyak sekali memanfaatkan pendekatan multidisipliner ini. Dalam beberapa tulisannya, seperti dalam bukunya Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, Muhammad Quthb menyoroti masalah-masalah pendidikan Islam dengan memakai kacamata psikologi, teologi dan sejarah. Dalam makalahnya pada konferensi pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah The Role of Religion in Education, ia menyoroti pendidikan dengan memakai pendekatan Teologis. Bukunya Fi al-Nafsi wa al-Mujtama’ beliau memakai telaah psikologi, sosiologi, dan historis.

Dengan menggunakan Telaah Multidisipliner ini, berarti ilmu pendidikan Islam saling berdialog dan saling menyapa dengan disiplin-disiplin ilmu lain, sehingga lahirlah disiplin-disiplin baru seperti: Sejarah Pendidikan Islam, Filsafat Pendidikan Islam, Psikologi Pendidikan Islam, Sosiologi Pendidikan Islam dan lain sebagainya.


F. Kesimpulan

Pendidikan Islam dalam pandangan Muhammad Quthb adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya, serta segala aktivitasnya; baik berupa aktivitas pribadi maupun hubungan dengan masyarakat dan lingkungannya berdasarkan nilai-nilai moral Islam. Jadi, Pendidikan Islam adalah proses pembentukan individu (anak didik/subyek didik) berdasarkan nilai-nilai moral Islam.

Tujuan Pendidikan Islam menurut perspektif Muhammad Quthb adalah untuk mencetak/membentuk insan-insan shaleh yang dengan tulus menyembah dan beribadah kepada Allah. Ibadah yang dimaksudkan adalah tidak hanya berupa ibadah ritual semata, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tujuan ini merupakan tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan yang bersifat umum dan berlaku bagi seluruh umat manusia. Sedangkan tujuan khusus, perumusannya tergantung pada setiap masing-masing daerah asalkan esensinya tidak berubah.

Mengenai sistem pendidikan Islam, Muhammad Quthb banyak memiliki persamaan dengan para pemikir Muslim lainnya, seperti Syed Muhammad al-Naquib al-Attas. Sistem Pendidikan Islam adalah mengacu pada manusia. Karena salah satu prinsip sistem pendidikan Islam adalah keharusan untuk menggunakan pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia. Jadi, sistem Pendidikan Islam berlaku bagi seluruh ummat manusia, tidak hanya pada suatu daerah atau negara saja.

Muhammad Quthb tidak memandang bahwa tradisi keilmuan Islam itu yang terbaik, dan Barat sebaliknya, tetapi antara Barat dan Timur (Islam) adalah dua hal yang saling melengkapi.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam Dalam Keluarga, di Sekolah dan di Madrasah, alih bahasa: Heri Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1989).
Abdul Munir Mulkhan, “Akar Pendidikan Islam Sebagai Ilmu” dalam Abdul Munir Mulkhan (ed), Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
Abd. Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993).
Ali Khalil ‘Aynayni, Falsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karim, (Qahirah: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1980).
Ali al-Jambulati, Perbandingan Pendidikan Islam, alih bahasa: H.M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, alih bahasa: Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).
Al-Attas (ed).,Aims and Objectives of Islamic Education,(Jeddah:King Abdul Aziz University,1979).
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999).
A. Syafi’i Ma’arif, dalam Muslih Usa (Ed)….p. 18 ; lihat juga: A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995).
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999).
C. Ralph Taylor, A.M. dkk, Websters World University Dictionary, (Washington D.C: Publishers Company, 1965).
Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, alih bahasa: Lukas Ginting, (Jakarta: erlangga, 1990).
Hasan Shadily, dkk, Ensiklopedi Indonesia, Jilid IV, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, t.t.,).
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988).
Herman Soewardi, “Islamisasi Sains: Apa Signifikansinya ?” dalam Mimbar Studi, Nomor 1 Tahun XXIII/1999.
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisiplin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, alih bahasa: Anas Mahyuddin,(Bandung:Pustaka,1995).
Muhammad Ali al-khuli, Qamus al-Tarbiyah, (Libanon: dar al-‘lmi li al-Malayin, 1981).
John Dewey, Democracy and Education, (New York: Macmillan Company, 1964).
Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Khurshid Ahmad (Ed),Pesan Islam,alih bahasa:Achsin Mohammad,(Bandung:Pustaka, 1982).
Lorens Bagus, Kamus Fiksafat, (Jakarta: Gramedia, 2002).
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis terhadap Konsepsi Al-Qur’an, (Yogyakarta: INHIS Pustaka Belajar, 1996).
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999).
Muhammad Quthb, Jahiliyah Masa Kini, alih bahasa: Afif Muhammad,(Bandung:Pustaka, 1994).
-----------, Tafsir Islam Atas Realitas, alih bahasa: Abu Ridho, (Jakarta: Sidik, 1996).
-----------, Manhaj Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, Jilid I, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 1993).
----------, Evolusi Moral,alih bahasa:Yudian Wahyudi Asmir dan Marwan,(Surabaya:Al-Ikhlas, 1995).
----------, Manhaj Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, jilid I, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1993).
----------, Muslimkah Anda ?, alih bahasa : Salim Basyarahil, (Jakarta: Firdaus, 1992).
---------, “The Role of Religion in Education” dalam Muhamamd al-Naquib al-Attas (ed), Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979).
---------, Lailaha illa Allah sebagai Aqidah Syariah dan Sistem Kehidupan, alih bahasa: Syafril Halim, (Jakarta: Robbani Press, 1996).
--------, Percikan Sinar Rasulullah, alih bahasa: Khudri Thaib, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985).
--------, “Sukarisme, Sebuah Anatomi” dalam Ahmad Fanani (ed.), Ancaman Sekularisme Sebuah Perbincangan Kritis Belajar dari Kasus Turki, alih bahasa: Tim Naskah Shalahuddin Press, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1986).
--------, Islam The Misunderstood Religion, (Kuwait: Darul Bayan Bookshop, 1964).
--------, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1993).
--------, Fi al-Nafhi wa al-Mujtama’, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1973).
Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa: Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah Ushuluha wa Tatawwuruha fi Bilad al-Arabiyyah, (Qahirah: ‘Alam al-Kutub, 1977).
Muhammad Anis Matta, Pengantar, dalam: Muhammad Quthb, Tafsir Islam Atas Realitas, alih bahasa: Abu Ridho, (Jakarta: Yayasan Sidik, 1996).
Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta : Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991).
Noeng Muhadjir, “Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an : Tinjauan Mikro” dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (ed),Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an,(Yogyakarta:LPPI Universitas Muhammadiyah,1999).
----------, “Pendidikan Islami Untuk Masa Depan Kemanusiaan : Telaah Teosentrisme Humanistik” dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam LEKTUR, Seri IV/1996.
----------, Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1993).
---------, “Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an : Tinjauan Mikro”, dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (ed), Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1999).
---------, Kepemimpinan Adopsi Inovasi untuk Pembangunan Masyarakat, (Yogyakarta: Rake Press, 1987).
---------,”Integrasi Filosofis Ilmu dengan Wahyu Pengembangan Metodologi Telaah Ilmu Masa Depan”, dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri (ed)., Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Logos, 1999).
Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, (New York: Mac Millan and The Free Press, 1967).
Syed Hossein Nasr, Islam Tradisi Di Tengah Kancah Dunia Modern, alih bahasa: Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1987).
Syed Husein Sajjad dan Ali Ashraf, Crisis in Muslim Education, (Jeddah: Hodder and Stoughton, King Abdul Aziz University, 1979).
Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979).
---------, Konsep Pendidikan dalam Islam,alih bahasa: Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984).
Yusuf Al-Qardhawy, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Bauna, alih bahasa: Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
Zainab al-Ghazali, Perjuangan Wanita Ikhwan al-Muslimin, alih bahasa: Salim Basyahril, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993).



BIODATA PENULIS

Saifullah lahir di Leupe, Lamno, Aceh Jaya, 6 April 1972 adalah dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry. Anak pertama dari empat bersaudara dari Bapak M. Idris AR, dan Ibu Fatimah Budiman (Hilang dalam Gelombang Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004). Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah (SMP dan SMA) di Lamno. Belajar di Dayah (Pesantren) Bustanul Aidarussiyah selama 6 tahun di kota kelahirannya juga (Lamno). Kemudian meneruskan pendidikan jenjang S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Jurusan Bahasa Arab (1992-1997), Studi Purna Ulama (SPU) di IAIN Ar-Raniry, S2 di lanjutkan di Program Pasacasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1998-2000) jurusan pendidikan Islam, konsentrasi pemikiran pendidikan Islam.
Selain mengajar di IAIN Ar-Raniry, juga mengajar di Universitas Serambi Mekah, Banda Aceh (2001-2002), dan Perguruan Tinggi Al-Hilal, Sigli (2001-2002). Pernah menjadi Staf Ahli Dekan dan Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Tarbiyah (2000-2001), Staf Ahli Pembantu Rektor Bidang Akademik IAIN Ar-Raniry (2001- 2004), Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Abulyatama (Agustus 2006 - sekarang), Visiting Fellow selama empat bulan di University of Hawaii atas sponsor East-West Center, Hawaii, USA. Sedangkan karya ilmiah yang pernah di plublikasikan dalam jurnal, diantaranya: Kebenaran Ilmiah Dalam Perspektif Filsafat Ilmu, dalam Jurnal “ Islam Futura” Pascasarjan IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, tahun 2001; Professionalisme Guru (Analisis Historis dan Kebijakan), dalam jurnal “Pencerahan” Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Nanggroe Aceh Darussalam; Volume 2, No. 1 tahun 2004; Globalisasi dan Pendidikan Akhlak (Suatu Usaha untuk Membendung Nilai-Nilai Negatif Globalisasi), dalam jurnal “Pencerahan” Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Nanggroe Aceh Darussalam; Volume 2, No. 3 tahun 2004; dalam bentuk buku: Muhammad Quthb Dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik, Penerbit Suluh Press, Yogyakarta, tahun 2005; Sedangkan yang terlibat sebagai Editor adalah Dinamika Pemikiran Pendidikan,buku (karya Prof. Dr. H. Warul Walidin AK, MA); Analisis Kritis Mutu Pendidikan dan Kompilasi Pemikiran Pendidikan (keduanya karya Dr. Jamaluddin Idris, M. Ed). Sekarang sedang melanjutkan studi Program Doktor (S3) pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

0 Response to "HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM (PERSPEKTIF MUHAMMAD QUTHB)"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme